Sunday, 30 October 2011

Kaum Muda, Kekerasan, dan Perubahan Sosial

Apa yang akan terjadi dengan masa depan negeri ini kalau kaum mudanya gemar tawuran? Bisakah perubahan sosial yang didambakan memberikan pencerahan ketika prosesnya selalu diwarnai darah dan air mata? Ini sepenggal pertanyaan menyesak di dada ketika menyaksikan makin maraknya perilaku kaum muda (mahasiswa) kita yang suka “memanjakan” naluri agresivitasnya. Mereka bukannya getol memperjuangkan idealisme melalui mimbar akademik yang sarat dengan debat dan argumentasi bermutu, melainkan justru suka pamer otot dengan membawa batu dan pentungan untuk menyakiti sesamanya.

Peran kaum muda dalam setiap perubahan sosial yang terjadi sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi memang tak seorang pun yang bisa membantahnya. Peran mereka yang mengagumkan dalam melahirkan gerakan-gerakan pro-rakyat juga sulit untuk dipungkiri. Meski demikian, kita juga sulit untuk menghindari munculnya stigma kaum muda sebagai “pionir” kekerasan ketika belakangan ini sebagian fakta berdarah-darah di ruang publik juga dipicu oleh kaum muda.

Dalam terminologi sosial, kaum muda (mahasiswa) sejatinya bisa digolongkan sebagai kalangan klas menengah yang senantiasa berdiri di garda depan dalam melakukan perubahan sosial. Peran mereka sebagai “motor” penggerak perubahan benar-benar teruji oleh sejarah. Soempah Pemoeda, misalnya, benar-benar momentum bersejarah ketika dengan amat sadar kaum muda saat itu mampu menanggalkan nilai-nilai primordialisme berbasis kesukuan yang masih kuat melekat di berbagai etnis di negeri ini. Dengan pandangan visioner untuk mewujudkan sebuah negeri yang terhormat dan bermartabat, mereka berikrar untuk mengikat nilai-nilai kesukuan menjadi sebuah kekuatan dahsyat untuk menyatukan berbagai suku, bahasa, dan berbagai perbedaan menjadi sebuah bangsa yang multinetik, multibahasa, dan multikultur.

sumpah pemudaKilas balik sejarah ini penting kita kemukakan sebagai manifestasi ingatan kolektif bangsa yang tidak akan pernah melupakan peristiwa besar itu. Kaum muda (mahasiswa) yang saat ini masih suka “memanjakan” naluri agresivitasnya di jalanan perlu banyak menimba ilmu dari para “founding fathers”. Kearifan para pendahulu negeri yang telah berhasil menorehkan tinta emas dalam prasasti sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dijadikan sebagai kiblat dan “khittah” kaum muda dalam memperjuangkan sebuah perubahan sosial tanpa pamrih. Sungguh, di alam keabadiannya, bisa jadi mereka akan terus menangis dan meratap ketika ide besar untuk menyatukan nilai-nilai kesukuan dan primordialisme yang sudah berhasil diwujudkan pada akhirnya harus porak-poranda akibat penafsiran sempit dan sesaat terhadap makna nasionalisme sejati.

Maraknya aksi kekerasan yang dengan vulgar ditampilkan oleh kaum muda (mahasiswa) kita di ruang-ruang publik belakangan ini jelas amat tidak menguntungkan, baik bagi kaum muda sendiri maupun idealisme yang hendak mereka perjuangkan. Sungguh terlalu naif kalau proses reformasi dan demokratisasi dibawa-bawa dalam aksi demo yang sarat dengan ulah destruktif dan vandalisme semacam itu. Terlalu picik juga kalau reformasi dijadikan sebagai topeng untuk melakukan aksi-aksi perusakan yang ujung-ujungnya hanya melahirkan sejumlah masalah yang kian rumit dan kompleks.

Tiga belas tahun sudah reformasi bergulir. Namun, secara jujur mesti diakui, perubahan sosial yang didambakan untuk mewujudkan tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang aman, damai, makmur, dan adil, justru kian menjauh dari substansi yang sesungguhnya. Maraknya korupsi, meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, atau amburadulnya upaya penegakan hukum, merupakan persoalan serius yang tidak akan pernah selesai dituntaskan hanya dengan berteriak dan berdemo secara anarkhis.

Kaum muda memang perlu menyuarakan berbagai ketimpangan dan kesenjangan sosial secara masif dan terus-menerus untuk mendorong para pengambil kebijakan agar benar-benar berpihak pada rakyat. Kaum muda juga perlu terus berjuang untuk “melawan” upaya sistemik yang hendak menggagalkan agenda-agenda pemberantasan korupsi, pemberangusan kemiskinan dan pengangguran, atau mandulnya penegakan supremasi hukum. Namun, sekali lagi, agenda-agenda besar semacam itu tak akan pernah bisa terwujud jika cara-cara purba yang sarat dengan kekerasan, darah, dan air mata, masih terus berlangsung. Kini, setelah Sumpah Pemuda memasuki usia ke-83, kaum muda kita perlu segera kembali ke “khittah” perjuangan untuk mewujudkan tatanan hidup berbangsa dan bernegara dengan cara-cara yang penuh empati dan sejauh mungkin meninggalkan aksi-aksi kekerasan.

Nah, Dirgahayu Sumpah Pemuda, semoga Tuhan tak akan pernah berhenti menurunkan rahmat-Nya di negeri yang besar ini dan senantiasa memberikan teguran kepada mereka yang dengan amat sadar melakukan tindakan zalim dan menyengsarakan rakyat. ***


Link to full article

No comments:

Post a Comment